Jumat, 20 Juli 2012

Survive to Surprise


Dulu, saat didaulat sebagai penjaga gawang oleh teman-teman pemain bola di kelas, saya mulai dilatih ala kadarnya. Kenapa ala kadarnya, karena selain tempat latihan yang kurang mendukung, peralatan serta teknik pun pas-pasan juga, yang penting prinsip dasar seorang penjaga gawang adalah mengamankan gawangnya agar tidak kebobolan. Setelah saya ikut dalam klub bola tingkat kabupaten, saya mulai mendapat pelatihan yang lebih baik dan terarah. Namun ada hal yang sama antara latihan dengan teman-teman dan dengan pelatih sebenarnya, yaitu; belajar jatuh dan jatuh. Jatuhnya seorang penjaga gawang bukanlah asal jatuh, ada seni dan tekniknya. Untuk menjangkau bola yang melayang melebar ke tiang gawang, lazimnya seorang kiper melompat dan jatuh agar dapat memberhentikan laju bola tersebut.

Cerita lain saat saya ikut latihan bela diri di pesantren, tiga bulan pertama saya hanya mendapat latihan menahan pukulan saja. Lebih tepatnya selalu dipukul dan saya menangkis dengan tangan/lengan. Sampai-sampai ke-dua otot tangan dan bahu ini lembam dan membiru karena selalu dilatih untuk menahan pukulan secara bergantian baik dari teman ataupun guru. Memang ada teknik yang diajarkan,  jadi tidak asal pukul dan tangkis. Setelah tiga bulan itu barulah mulai belajar teknik lainnya. Saya sempat protes sama guru pelatih, namun beliau bilang: "orang yang kuat bukanlah yang jago pukul, tapi yang punya daya tahan lebih lama, jadi saya ajarkan kalian seni bertahan terlebih dahulu dengan belajar menahan dan mengendalikan rasa sakit".

Berlatih jatuh dan menahan sakit, sekilas memang terkesan konyol. Tapi coba kita renungkan. Bukankah untuk menjalani kehidupan ini, kita sering jatuh dan menahan sakit. Entah kita bisa ingat atau tidak masa balita kita dulu, tapi lihatlah anak balita yang mulai belajar berdiri dan berjalan, jatuh adalah proses yang harus dijalaninya, bukan hanya sekali si balita terjatuh, bisa berpuluh atau ratusan kali dia terjatuh, akhirnya barulah dia memperoleh keseimbangan untuk bisa berdiri dan berjalan. Si balita setiap jatuh mungkin merasakan sakit, tapi ada sakit yang bisa dia tahan dan terkadang dia menangis karena sakit yang dirasa di luar batas kemampuannya.

Apa yang paling penting dari sebuah "jatuh"? Jawabannya adalah bangkit, yaitu bagaimana kita kembali bangkit dari jatuh yang kita alami, sebagaimana seorang kiper harus segera bangkit setelah jatuh untuk kembali melempar bola ke tengah lapangan permainan. Jatuh sering dikonotasikan dengan kegagalan. Membahas jatuh, coba kita lihat perjalanan hidup Abraham Lincoln (1809-1865) berikut ini! Usia 22 tahun gagal dalam bisnis. Usia 23 tahun gagal dalam pemilihan legislatif. Usia 24 tahun gagal (lagi) dalam bisnis. Usia 26 tahun kekasihnya meninggal dunia. Usia 27 tahun menderita penyakit gugup. Usia 29 tahun gagal dalam pemilihan ketua legislatif. Usia 34 tahun gagal dalam pemilihan kongres. Usia 39 tahun gagal (lagi) dalam pemilihan kongres. Usia 46 tahun gagal dalam pemilihan senat. Usia 47 tahun gagal dalam pemilihan wakil presiden. Usia 49 tahun gagal (lagi) dalam pemilihan senat. Usia 51 tahun terpilih menjadi presiden Amerika Serikat ke-16. Bayangkan kalo dia waktu itu tidak bangkit dari jatuh atau kegagalannya itu, mungkin dia tidak akan pernah ada dalam sejarah Amerika atau dunia.

Daya Tahan untuk Menang

Bicara jatuh dan sakit berarti bicara daya tahan. Untuk mencapai sebuah target yang ingin dicapai, orang rela bersusah payah menjalani prosesnya. Tidak ada kesuksesan yang tiba-tiba, semua butuh proses jatuh-sakit-bangun-bangkit, seperti contoh Abraham Lincoln tadi. Seorang petinju yang agresif menyerang belum tentu menang dalam pertandingan, karena bisa jadi serangannya kurang akurat sehingga tenaganya habis terkuras, tapi petinju yang memiliki daya tahan kuat akan mampu menumbangkan lawannya hanya dengan sekali atau dua pukulan telak. 

Bulan Ramadhan adalah bulan latihan bagi kita untuk membangun daya tahan, lebih dari 12 jam kita menahan lapar dan dahaga adalah perjuangan yang tidak mudah, terutama bagi yang masih harus bekerja dan beraktifitas fisik. Namun dibalik rasa sakit yang dirasa itu, ada kebahagiaan yang begitu haru saat kita dapat berbuka puasa dan bertemu dengan Iedul Fitri. Di bulan Ramadhan kita tidak hanya dituntut untuk menahan lapar dan haus saja, tapi juga mengendalikan hawa nafsu, emosi amarah dan perbuatan buruk lainnya.

Tak hanya menahan makan dan minum di siang hari saja, tapi saat berbuka kita akan diuji, apakah kita akan "balas dendam" dengan mengkonsumsi segala jenis menu berbuka, ataukah kita masih mampu mengendalikan diri?! Bayangkan saja, kalau lambung yang besarnya hanya sekitar kepalan tangan kita, diisi dengan semangkuk es buah, sepiring nasi plus tambah, segelas es sirup, sebelah potong semangka dan seterusnya, mana mungkin kita dapat bergerak normal lagi. Padahal dalam hadits dijelaskan bahwa perut dibagi tiga bagian, sepertiga untuk makanan, sepertiga untuk minuman, sepertiga lagi untuk udara. Terkadang ada yang nekad berinisiatif menjadikan sepertiga terakhir untuk menu tambahan… na'udzubillah.

Kembali membahas jatuh
Dalam membahas jatuh ini, saya tidak mengajak pembaca untuk berjatuh-jatuhan sembarangan. Karena jatuh yang saya maksud adalah jatuh dalam berusaha untuk kesuksesan dan kebaikan. Bukan jatuh dalam kemaksiatan dan dosa. Dalam hadits Nabi SAW dikatakan, hanya keledailah yang jatuh dalam lubang yang sama. Pesan dari hadits tersebut adalah kalau kita pernah jatuh karena maksiat yang kita perbuat, jangan sampai kita kembali terjatuh dalam lubang dosa itu lagi.

Lalu….
Bagaimana bila ternyata yang terjadi adalah jatuh cinta…
Bukankah itu juga sama-sama jatuh?!?!?

Hmmmm…
Saat ini saya tidak siap membahasnya, karena saya juga bingung kalau bicara tentang 'jatuh' yang satu ini…..





Nb: jika ada ide, kritik dan saran, dengan senang hati saya menerimanya dan mohon kirimkan ke bungsu.munaf@gmail.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar