Kamis, 12 Juli 2012

INGIN PULANG






"Aku ingin pulang", begitulah salah satu lirik lagu Ebiet G Ade terdengar mengalun memenuhi ruang pelatihan saat jeda materi. Seperti biasa, setiap sore pada hari terakhir pelatihan per-angkatannya, saya memutar lagu ini sebagai pengantar perpisahan antara peserta dan fasilitator. Saat menyeruput secangkir kopi hangat yang sudah dihidangkan, saya dikagetkan oleh suara salah satu peserta, "lagunya pas banget Pak?", sapa sang ibu sambil duduk di depan meja saya. "Oh ya", balas saya dengan antusias. "Bapak jujur aja dech, yang ingin pulang itu bukan cuma kami kan?, pasti Bapak dan fasilitator lain juga kangen pulang, apalagi hampir 1 pekan Bapak tugas di sini", sambung sang ibu.  "Hmmm, iya Bu, betul sekali", jawab saya mengangguk dan tersenyum. "Makanya lagu ini saya putarkan untuk kita semua", lanjut saya menjelaskan. Tak berapa lama kami ngobrol ringan, rekan fasilitator lain datang memberi aba-aba bahwa materi segera dilanjutkan. Sang ibu kembali ke barisan kursi peserta.


Jam 5 sore, pelatihan selesai dan seluruh peserta beranjak pulang, tim fasilitator pun segera berkemas. Travel bag dan perlengkapan pelatihan, semua kami ricek agar tidak ada yang tertinggal. Pesawat yang akan kami naiki menuju Jakarta adalah penerbangan terakhir dari Yogya, pukul 19:15. Setelah mengurus billing ke receptionist hotel kami langsung check out, mobil pengantar menuju bandara Adi Sutjipto disediakan gratis dari pelayanan hotel. Dalam perjalanan itu, saya menelepon ke rumah, saat telepon diangkat: "Hallo, Aslamikum, sapa niihh?", suara cadel Fatih yang saat itu belum genap berusia 4 tahun menyapa. "Waalaikumussalam, nak..", belum sempat saya melanjutkan kata-kata, "Abiiiiii", pekiknya dengan suara lengking, "Neeekkkk, Abi nelpon", lanjutnya dengan teriakan. "Fatih, Abi mau ngomong", saya mencoba menenangkannya. "Ngomong apa?", tanyanya singkat, "InsyaAllah kalo dapat pesawat Abi pulang malam ini, kalo nggak dapat, berarti Abi pulang besok pagi". "Asyiiikk, Neeek Abi pulang nanti katanya…", lagi-lagi dia berteriak menjelaskan ke nenek. "Ya udah ya, sampai ketemu nanti", jelas saya padanya. "Abi, bawain oleh-oleh roti Boy ya". "InsyaAllah ya Nak, Assalamualaikum", jawab saya menutup pembicaraan.

Tiba di Bandara Adi Sutjipto, kami bergegas menuju check in counter dan melapor. Sambil menunggu boarding, saya menelepon ke travel agent langganan menanyakan tiket pesawat Jakarta-Padang untuk malam itu, saya sudah dapat izin dari atasan untuk langsung pulang ke Padang, ternyata tidak ada penerbangan di atas jam 9 malam, karena jadwal terakhir pukul 19:40. Akhirnya saya pesan penerbangan paling pagi untuk keesokan harinya. Maklumlah, hampir 2 bulan saya belum ketemu Fatih, jadi saya kangen banget ingin pulang. Tiba di Jakarta kami langsung menuju kantor, melaporkan hasil tugas dan mengurus pengembalian perlengkapan pelatihan ke gudang. Sekitar jam 12 malam semua urusan sudah selesai. Saya lebih memilih untuk tidak pulang ke rumah kakak di Kebayoran Lama, karena waktunya tanggung, toh nanti sekitar jam 3 dini hari saya harus ke Bandara Soetta lagi. Malam itu terasa panjang sekali, mata ini sulit dipejamkan karena rasa rindu untuk pulang makin terasa, akhirnya saya putuskan untuk tidak tidur dan menemani satpam penjaga kantor mengobrol. Tak terasa, jam menunjukkan pukul 02:30. Saya segera mandi dan berkemas, Alhamdulilllah masih ada 1 stel pakaian layak pakai untuk diperjalanan.

Bis Damri yang saya naiki berangkat tepat waktu menuju bandara, jam 4 tepat saya sudah sampai di terminal 2F Bandara Soetta. Antrian di check-in counter belum begitu ramai. Adzan Subuh mengalun dari TV Bandara di ruang tunggu, mushalla mulai penuh oleh jamaah yang juga calon penumpang pesawat dengan tujuan berbeda-beda. Jam 6 pagi, penumpang GA 160 CGK-PDG dipanggil untuk boarding. Melangkah melewati garbarata menuju kabin terasa ringan sekali, karena ada rindu yang membimbing langkah ini untuk pulang. Beberapa menit setelah take-off, hidangan khas penerbangan dihidangkan, aroma gurihnya omelet tercium saat timah pembungkus makanan dibuka, saya makan dengan lahapnya, maklumlah perut keroncongan dari tadi malam. Entah karena kenyang atau belum tidur semalaman akhirnya saya terlelap…zzzz…zzz.

"Ready to landing position", sayup terdengar suara kapten pilot, saya membuka mata menoleh ke luar jendela, Subhanallah, indahnya pemandangan pantai Padang di pagi hari yang cerah. Tampak pelabuhan Teluk Bayur bersebelahan dengan Pantai Air manis, bandara Tabing yang sekarang menjadi pangkalan AU juga terlihat jelas. Pesawat mulai terbang rendah dan mendarat dengan selamat. Tak sabar rasanya ingin mengaktifkan HP untuk mengabarkan ke Fatih kalau saya sudah berada di bandara Minang. Tapi karena peraturan penerbangan, jadi saya tahan dulu untuk tidak mengaktifkan HP hingga nanti turun pesawat dan sampai di terminal kedatangan. Keluar di pintu kedatangan, Uda Boy kepala pool armada travel Padang-Bukit Tinggi sudah menunggu, dengan senyumnya yang khas dia ambil alih travel bag yang saya bawa dan diantarnya menuju mobil. Didalam mobil sudah ada beberapa orang penumpang langganan menunggu untuk diberangkatkan. Melewati Kayu Tanam, tibalah kami di Air Terjun Lembah Anai yang unik, udara sejuk mulai terasa, tak berapa lama dari situ tampak jembatan kembar menjadi gerbang masuk kota Padang Panjang, sebuah baliho menyambut bertuliskan "Selamat Datang di Kota Padang Panjang". Subhanallah, bahagia sekali rasanya masih dapat pulang.

*****

Mohon maaf, kalau cerita pengantar tadi terasa panjang. Sebenarnya tulisan itu sudah saya edit ulang dari buku harian saya, tadinya hampir 4 halaman saya tulis. Semoga anda masih berkenan membaca lanjutan berikut ini.


PULANG, 6 huruf yang penuh makna. Sesungguhnya setiap insan selalu menginginkan pulang,  apalagi yang menunggu kepulangannya itu adalah orang yang dicintai dan dirindukan. Kelelahan seusai bekerja tidak terasa saat kita pulang menemui orang yang didambakan, bagi yang sudah bekeluarga pulang ke rumah adalah jam-jam indah yang dinanti-nanti. Bagi perantau, pulang ke kampung halaman adalah kebahagiaan tersendiri, meski ribuan kilometer perjalanan harus ditempuh.

Kenapa pulang begitu menyenangkan, mendebarkan dan mengesankan? Itulah sebuah pertanyaan yang saya lontarkan kepada pembaca. Saya berkeyakinan, setiap orang memiliki alasan berbeda saat dia pulang. Mulai dari alasan yang mudah dicerna oleh logika, atau alasan yang hanya dia dan Allah saja yang tahu. Bahkan baginda Rasulullah Muhammad SAW juga merindukan pulang ke tanah kelahirannya Mekkah saat dia harus hijrah ke Medinah.

Dalam bahasa Arab, pulang adalah: 'aada, jika dikembangkan lagi bisa menjadi kata 'iida. Kita sering mendengar istilah 'iedul fitri yang dapat diartikan pulang atau kembali ke fitrah. Fitrah kita sebagai hamba Allah.

Sebelum iedul fitri itu tiba, ada perjalanan bernama bulan Ramadhan yang akan kita lewati. Suka-tidak suka, mau-tidak mau, Ramadhan adalah perjalanan kita menuju "pulang" ke fitrah yang suci. Perjalanan yang kendaraannya bertiketkan ibadah puasa, berbekalkan tarawih dan tilawah, dan kabinnya adalah rasa maaf dan kelapangan hati, bagasinya adalah zakat dan sedekah.

Dalam hakikat hidup yang lebih luas, pulang adalah kembalinya manusia pada asalnya yang tidak mungkin dielakkan. Apa dan bagaimana pun keadaannya, suka atau tidak suka terhadap rasa ingin pulangnya, jauh atau dekat pun perginya, dan ada atau tidaknya kerinduan terhadap arah pulang yang satu ini; setiap kita pasti akan 'pulang'. 

Walaupun, tidak sedikit orang yang merasa lebih nyaman berada di dunia ini daripada berhasrat menuju 'pulang'. Lebih asyik dengan status-statusnya, status pendidikan, ekonomi, sosial, dan ragam status dan strata lainnya yang mengangkat gengsi. Lebih asyik dengan pekerjaannya. Lebih asyik dengan segala fatamorgana yang sedang menaunginya.

Namun, kita tetap harus pulang. Persis seperti apa yang diungkapkan oleh Ebiet G Ade pada lirik lainnya: "Kita bukan tidak ingin 'pulang'. Tapi kita mungkin belum memahami arti 'pulang'.

Wallahu A'lam.

(Sebagian tulisan diinspirasi dari suunmoon)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar