Jumat, 06 Mei 2011

MOTIVASI, antara PUJI VS CACI

Bulan Juli 1996, saya baru memasuki tahun ke-2 menjadi santri di Pondok Pesantren Husnul Khotimah Kuningan Jawa Barat. Pada saat itu akan diadakan Pekan Olah Raga & Seni (PROSENI) tingkat SMP/MTS se-Kabupaten Kuningan. Pesantren kami yang memiliki jenjang sekolah MTS dan MA juga ikut memeriahkannya.
Di antara lomba yang diikuti adalah lomba lari marathon 5 km. Mengingat karena Pesantren kami baru berusia 2 tahun, tentunya belum memiliki kandidat atlet di beberapa bidang olah raga & seni, termasuk cabang lari marathon, maka diadakanlah seleksi untuk memilih atlet yang akan diikutsertakan PORSENI.
    Selasa sore, setelah shalat Ashar, peserta seleksi yang terdiri dari 12 orang murid kelas 1 s.d kelas 3 MTS mulai bersiap-siap, saya satu di antaranya. Lapangan sepak bola yang terletak di depan Asrama Badar & Uhud sebagai tempat seleksi, penonton sudah ramai memadati pagar asrama yang menghadap ke lapangan. Sebagian besar peserta adalah pemain Tim sepak bola MTS Pesantren yang dikenal oleh kalangan santri dan ustadz, mereka mendapat dukungan dan teriakan yang menyemangati. Sangat kontras dengan saya yang tidak mendapatkan dukungan sedikitpun tapi malah cemoohan, karena ketika guru olah raga memberikan pengarahan kepada peserta seleksi, tiba-tiba seorang teman se-asrama (sy masih ingat namanya hingga saat ini) berteriak dari barisan penonton yang berada di pagar asrama Uhud, “Mana ada orang kulit putih kuat berlari, jangankan berlari, kena matahari aja dah ambruk, udahlah… mending jadi penonton aja, mana bisa ngalahin Andreas yang larinya seperti kuda itu”. Teriakannya sontak membuat santri yang mendengar ikut tertawa meledek ke arahku. Saya memang tahu bahwa Andreas adalah pemain bola berbakat di Tim Pesantren. Mukaku merah padam, karena menahan malu dan kesal, namun saya tetap berusaha untuk mengikuti seleksi ini walau hasilnya saya belum tahu apakah nantinya menang atau kalah. Saya lihat ke semua peserta seleksi, memang benar juga kata santri yang meledek tadi, ternyata saya paling putih di antara semuanya dan malah lebih terkesan putih pucat.
    Dalam kondisi terpojok saya berharap guru olah raga memberikan sedikit semangat yang adil, tapi ternyata malah ikut mempertanyakan kesiapanku; “Maisar, kamu yakin bisa mengalahkan Andreas dan kawan-kawan? Mereka pemain sepak bola yang larinya sudah terbiasa cepat”. Keadaanku makin tersudutkan, hampir saja saya mundur dari seleksi ini. Tapi saya ingat kata-kata pelatih marathon saya dulu yang akrab dipanggil Da Jun ketika aktif di klub (Persatuan Atletik Seluruh Indonesia) PASI cabang Padang Panjang, dia pernah menasehati kami “Sekalipun kamu harus kalah dalam lomba, tapi tetaplah berlari hingga garis finish atau habis semua tenagamu”. Ada selintas harapan muncul setelah mengingat pesan itu, saya dulu memang pernah aktif di klub Atletik cabang lari marathon level anak-anak di kota kelahiran saya, hampir 2 tahun lamanya hingga akhirnya saya mengikuti ajakan Uda tertua untuk bersekolah ke Jawa.
    Guru yang juga bertindak sebagai juri memberikan waktu kepada peserta untuk melakukan pemanasan. Dengan sedikit pengalaman di dunia marathon, saya pun segera melakukan senam pemanasan. Melihat hal itu, para penonton kembali bersorak meledek, karena ternyata cuma saya yang melakukan pemanasan, sementara peserta yang lain hanya ngobrol. Bahkan salah satu peserta menoleh ke arah saya dan berkata; “Sar, lari kan olah raga pemanasan, ngapain pake pemanasan lagi?!”. Saya tidak menimpalinya kecuali dengan senyuman saja, tapi saya dapat menyimpulkan, ternyata dia memang memahami lari marathon hanya sebagai olah raga untuk pemanasan saja, apalagi dia pemain sepak bola yang mana setiap sebelum bermain atau bertanding selalu melakukan pemanasan dengan berlari-lari kecil, berarti bisa jadi dia juga tidak tahu teknik berlari marathon yang sebenarnya.
    Semua peserta kembali dikumpulkan di garis start, dan juri memberikan arahan bahwa seleksi akan dilakukan dengan jarak lari 4 km atau sebanding dengan mengelilingi lapangan bola sebanyak 10 putaran penuh. Saya harus mengalahkan 11 orang lawan jika ingin menjadi no.1 di lomba seleksi ini. Pluit berbunyi, peserta berlarian di jalur pinggiran lapangan. Hampir semua lawanku melakukan lari cepat/sprint, dan saya praktis jadi tertinggal di belakang mereka dan berjarak cukup jauh. Hal itu membuat penonton makin bersorak memberikan dukungan kepada para pelari yang berada di urutan terdepan, sekaligus mencemoohku yang berada jauh tertinggal di belakang dengan jarak nyaris setengah putaran. Saya tetap berlari dengan langkah teratur, karena ini adalah lari marathon, bukan lari cepat/sprint.
    Akhirnya waktulah yang menjawab semuanya, setelah melewati putaran pertama para pelari yang didepanku mulai melambat dan jarakku dengan mereka makin dekat, memasuki putaran ke-2 saya berhasil melewati 6 orang yang mulai kelelahan, sekarang tinggal 5 orang di depanku, dengan pemimpin di ujung putaran adalah Andreas. Pada putaran ke-3, saya kembali melewati 3 orang berikutnya dan sekarang saya berada di urutan ke-3. Hal ini membangkitkan semangat saya. Memasuki putaran ke-4, para peserta yang berada di belakangku yang tampak kelelahan terlihat tak sanggup lagi berlari, mereka hanya berjalan kaki, bahkan ada 4 orang peserta memilih keluar lomba dan duduk di pinggiran lapangan. Jarakku dengan urutan ke-2 semakin dekat, di ujung putaran ke-4 saya berhasil melewatinya dan sekarang tinggallah Andreas yang harus ditaklukkan.
    Di putaran ke-9 dia melambat dan saya melewatinya tanpa ada usaha darinya untuk mengejar atau menyamai langkahku. Memasuki putaran terakhir posisiku makin mantap, dan memasuki garis finish di urutan terdepan. Andreas menyusul dan menghampiri serta menyalamiku berkata; “Sar, ternyata pengalaman saya di lapangan bola dan dukungan teman-teman tak cukup untuk modal menjadi juara sebagaimana diperkirakan sebelumnya, karena kamu ternyata dapat mengalahkan kami meski di awal mendapatkan cemoohan dan ledekan”. Mendengar katanya saya cukup terharu, dan menjelaskan kepadanya bahwa saya punya sedikit pengalaman di klub marathon sejak kelas 5 SD.
    Guru olah raga kami memutuskan bahwa saya yang terpilih untuk mengikuti PORSENI pada cabang marathon dan mulai mengatur jadwal latihan pra-lomba. Sambil meninggalkan lapangan menuju gerbang masuk pesantren saya menoleh kepada beberapa orang yang tadinya meledek dan mencemooh, terlihat ada yang menundukkan wajah terkesan membuang muka dan ada yang mengacungkan jempolnya ke arahku memberikan pujian. “Alhamdulillah, Engkau berikan semangat padaku ketika hati ini merasa sangat terpojok” batinku bergumam sambil terus mengucap syukur. Sejak saat itu saya sering diikutkan lomba marathon mewakili Pesantren meski tidak selalu menang dalam setiap pertandingan.
# # # # #
    Pada saat itu, diusiaku yang baru memasuki masa remaja, saya belum faham arti dan makna yang tersirat dari peristiwa tersebut secara mendalam. Barulah pada 3 tahun terakhir ini saya dapat mengambil pelajaran dan hikmah yang lebih mendalam, dari rangkaian peristiwa masa lalu tadi, ternyata ada beberapa hal yang akhinya saya jadikan pembahasan di buku ini berkaitan dengan sebuah kata yang sudah tidak asing lagi di telinga kita, yaitu motivasi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar