Jumat, 15 Juni 2012

Ketika Harus Menyimpan

"Nak, sisa uang jajan tadi siang disimpan ya!". Begitulah pesan seorang Ibu pada anaknya agar berlatih menyimpan uang menjadi tabungan. Kita semua tahu, rajin menabung adalah kebiasaan baik dan menguntungkan. Banyak orang yang sukses dalam urusan ekonomi karena bisa menyimpan uangnya dalam tabungan dan sejenisnya.

Dalam urusan materi dan keuangan, menyimpan menjadi salah satu sarana untuk mencapai kenyamanan, ketenangan dan kemapanan. Walaupun materi bukanlah satu-satunya penentu kebahagiaan hidup, karena masih banyak hal lain yang dapat menentukan kebahagiaan seseorang.

Bagaimana halnya bila yang disimpan itu berupa "rasa" atau perasaan?
Banyak pujangga menulis puisi tentang menyimpan rasa.
Para biduan menyanyikan tembang lagu menyimpan rasa.

Tersiksa, itulah kesimpulan yang kita dapatkan bila mendengar lagu dan membaca puisi tentang menyimpan rasa, terutama rasa cinta dan rindu. Entah rasa tersiksa itu hanya  dirasakan oleh sang penyair dan pencipta liriknya saja, atau memang sudah menjadi lazim terjadi pada setiap insan yang didera untuk menyimpan rasa.

Sejujurnya, saya sepakat dengan pujangga dan penyair yang melukiskan perasaan tersiksa jika harus menyimpan rasa. Rasa yang kita simpan dalam hati memang adakalanya dikeluarkan atau diekspresikan dengan ungkapan kata atau sikap lainnya. Namun tak jarang rasa itu tak bisa diungkapkan atau bahkan terlarang untuk diucapkan. Karena rasa berada pada dimensi emosional yang mana setan bisa bermain dan merusak keimanan kita.

Tulisan ini pun saya tulis sebagai bentuk ungkapan bahwa menyimpan rasa itu tidaklah mudah. Tapi adakalanya menyimpan rasa itu wajib dilakukan tanpa diungkapkan, bahkan sepanjang hidup. Wallahu A'lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar