Jumat, 10 Agustus 2012

HARAP MAKLUM


"…..Demikianlah surat pemberitahuan ini kami sampaikan, harap maklum apa adanya". 

Begitulah tulisan pada paragraph terakhir sebagai kata penutup di dalam surat edaran yang saya terima. Sebenarnya saya agak sedikit heran, kenapa institusi yang mengirimkan surat tersebut menulis kalimat seperti itu, apakah karena memang sudah menjadi standar baku sebuah tulisan dalam surat edaran, atau memang yang menulis tidak mau tahu-menahu lagi apakah para penerima surat mengerti atau tidak maksud isi surat tersebut. Tanpa mau berpikir rumit, saya tetap menempelkan surat edaran tersebut di dinding mushalla dekat pintu keluar, supaya jama'ah bisa melihat sewaktu mereka keluar-masuk.

Sebenarnya apa sich.. arti dari kata 'maklum'?. Saya pernah membaca beberapa literatur bahasa serapan, 'maklum' juga merupakan kata serapan dari Bahasa Arab. Asal kata -'alama-, artinya; tahu. Kalau dijadikan kalimat "majhul/pasif", maka susunan katanya jadi 'ma'lum', artinya 'diketahui'. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) tertulis 'maklum' yang salah satu artinya 'diketahui'.

Dalam hidup ini memang ada kejadian seperti penggalan isi surat tadi. Adakalanya kita tidak mengetahui dengan maksud dan tujuan atau pesan yang ingin disampaikan orang terhadap kita, tapi kita diminta untuk 'maklum'. Memang lucu juga sich… dalam kondisi tidak tahu tapi dianggap tahu.

Bagi saya, dari pada memikirkan 'tahu-tidak tahu', lebih baik kita berbaik sangka saja. Kita anggap saja hal tersebut adalah bentuk kepercayaan orang yang mengirimkan pesan kepada kita.
Lalu setelah berbaik sangka, apakah cukup sampai di situ?!

Selama ini terkadang saya atau mungkin Anda bisa jadi sering berhenti sampai pada tahap 'anggap saja kita tahu'. Sebenarnya jika kebiasaan itu terus kita biarkan, akan membuat kita menjadi kurang arif dan bijaksana, atau yang sering disebut 'cuek'.

Dalam beberapa tahun terakhir ini, saya mencoba untuk mencari solusi pribadi dalam menghadapi hal-hal seperti ini. Karena saya sering menghadapi peristiwa di mana orang-orang selalu meminta 'harap maklum' kepada saya, apakah itu secara lisan atau secara tindakan. Yang penting bagi mereka; saya harus bisa memaklumi pesan atau tindakan mereka. 
Salah satu upaya saya adalah dengan mengasah rasa/perasaan (feel), cara pertama yang paling sederhana adalah 'senyum' sesuai ajaran Rasulullah saw. Senyum kita tidaklah mesti selalu harus terlihat oleh orang yang menyampaikan pesan atau tindakan tersebut, bisa jadi kita harus senyum di dalam hati.
Setelah senyum, kita coba untuk 'receive=menerima', pada keadaan ini memang sulit melakukannya secara langsung, terkadang butuh proses dan waktu. Karena ketika pesan atau tindakan yang kita terima dari orang lain terasa tidak meng-enakkan, akan membuat emosi negatif kita terpancing. Saya pun masih berlatih untuk tahap ini.. berat loohh.. Bagaimana cara 'menerima'-nya?!, saya yakin masing-masing kita punya cara tersendiri untuk mengungkapkan perasaan 'menerima' terhadap sesuatu yang kurang berkenan di hati, bisa jadi ada yang tersenyum, menangis, menghindar, tertawa terbahak-bahak dan berbagai ekpresi lainnya, yang penting kita usahakan selalu bersikap yang baik dalam 'menerima/receive'. Karena seseorang diaggap dewasa jika dia bisa mengendalikan perasaannya.

Setelah 'senyum' dan 'menerima', cara ketiga yang saya lakukan adalah 'berserah' bukan 'menyerah'. Maksud saya adalah, 'berserah' secara vertikal yaitu kepada Allah. Kalau kata ustadz atau guru ngaji; "berserah itu bentuk keikhlashan". Di saat senyum sudah tak cukup lagi bagi kita bisa 'memaklumi' suatu keadaan, dan perasaan kita berat untuk 'menerima' keadaan tersebut. Marilah kita berserah kepada-Nya.  Karena Dia-lah yang menggenggam hati-hati kita.

Sekali lagi saya ingin sampaikan bahwa ini adalah solusi pribadi, bisa jadi cocok untuk Anda atau sebaliknya. Bisa jadi tulisan ini membuat Anda bingung..… hehe

Lalu…. "demikianlah tulisan ini saya sampaikan, harap maklum apa adanya".

Wassalam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar