Rabu, 09 Januari 2013

SIAPA yang PERGI, SIAPA yang PULANG ?!


SIAPA yang PERGI, SIAPA yang PULANG
(Monolog Imajiner)

"Telah berpulang ke rahmatullah Ubaidillah bin Abdullah pada pukul 7 pagi…..". 
Haahh, aku terpana, saat mendengar namaku disebut oleh penjaga mesjid. Ada apa denganku?! ingin aku menanyakan padanya. Tapi aku tidak bisa menggerakkan bibir ini tuk berkata.

Di saat bersamaan aku melihat ada beberapa orang mengitariku, wajah mereka begitu akrab di ingatanku. "Jangan pergi tinggalkan kami…" suara sesegukan istriku; wanita yang sangat aku kenal dekat terisak menangis. Tapi aku tak bisa menjawabnya, ingin ku katakan bahwa: "aku tidak kemana-mana, aku masih di hadapan kalian".


Sejenak kemudian, orang berduyun-duyun datang memenuhi ruang tamu, mengitariku, ada yang membuka kain tipis penutup wajahku, mulutnya komat-kamit membacakan doa. Tak lama setelah itu, seorang yang ku kenal sebagai guru mengaji di komplek perumahan berpakaian jubah dan berkupiah putih berdiri mengambil posisi berbicara: "Hadirin dan hadirat yang saya hormati, pada hari ini, orang yang sangat kita kenal baik telah berpulang kepada Yang Maha Kuasa".

Aku bingung, tadi istriku berkata "jangan pergi tinggalkan kami…". Tapi sang guru mengaji berkata beda: "…telah berpulang…". Sebenarnya mana yang benar, apakah aku ini pergi atau pulang?, aku ingin protes tapi tak bisa berkata, aku membisu, kaku membeku.

Tak lama setelah itu, beberapa orang menyiram tubuhku dengan lembut, diteruskannya dengan membungkus tubuhku dengan kain putih-bersih. Lagi-lagi aku ingin protes; "bajuku banyak dilemari, berbagai model dan warna, kenapa aku harus pakai kain ini?".

Kemudian mereka mengangkat tubuhku, membawa dan meletakkanku di tengah-tengah shaf shalat di mesjid dekat rumah. Tak berhenti aku ingin kembali berteriak, "kenapa aku dibiarkan terbaring?!" Dan mereka bertakbir 4 kali dalam barisan rapi menghadap kepadaku. "Aku biasanya berbaris satu shaf bersama kalian, tapi kenapa sekarang aku dipisahkan dari barisan kalian?".

Sebuah kotak besar berjeruji besi berbentuk setengah oval diangkat mendekatiku, yang kutahu benda itu bernama keranda, tubuhku dimasukkan kedalamnya. Berduyun-duyun orang mengiringi mengantarkanku ke sebuah lokasi sunyi. Sebuah lubang persegi telah digali, mereka memasukkanku kedalamnya, mengiringi dengan doa dan isak tangis beberapa orang dekatku. Secara perlahan tapi pasti, gumpalan-gumpalan tanah mulai menutupi tubuh kakuku yang terbujur dalam balutan kain putih. 

Meski tubuhku telah tertimbun rata dengan tanah, tapi aku masih bisa mendengar suara mereka, melihat gerak-gerik mereka. Selembar papan bertuliskan namaku ditancapkan di gundukan tanah tepat di atas posisi kepalaku. Secara bertahap mereka beranjak meninggalkanku, tinggal beberapa orang saja, di antaranya istriku seraya berjongkok di samping gundukan tanah yang menguburku dia berucap "Kanda, semoga Allah lapangkan peristirahatanmu, Dinda selalu merindukanmu, semoga Allah pertemukan kita kelak di surga-Nya. Sebentar lagi Dinda akan pamit, pulang ke rumah mengurus anak-anak kita, melanjutkan impian kita untuk masa depan mereka". Dengan terisak dia menyiramkan air bertabur bunga di atas gundukan tanah yang menguburku, kemudian dia berdiri, berbalik badan melangkah menjauh meninggalkanku. Inginku memeluknya sebagaimana yang rutin ku lakukan setiap hari, mencium keningnya, tapi aku sudah tak kuasa, karena aku bukan lagi di alam yang sama dengannya. 

Masih terlintas pertanyaan olehku; "sebenarnya siapa yang pulang - siapa yang pergi?, karena tadi mereka bilang aku yang pergi meninggalkan mereka, tapi sekarang aku merasa mereka yang pergi meninggalkanku sendiri-sunyi-sepi".

Tidak ada komentar:

Posting Komentar